Sabtu, 14 Februari 2015

Hidup Itu Kadang Lucu


Mungkin sudah satu tahun lebih lamanya. Tidak singkat memang, namun masih dengan orang yang sama.

        Siapa sangka rasa itu masih ada, tetap awet dan tidak berdebu. Masalah waktu seakan dituntaskan dengan mudah. Mudah bukan karena menjalaninnya dengan nyaman, namun dalam dalam artian tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bagaimanapun sikapnya, aku terima. Seabstrak apapun statusnya, aku masih terima. Sejelek apapun omongan orang luar, aku tetap masih terima. Tentu ada alasan kuat dibalik ini semua. Mungkin jawabannya terlalu menggelikan. Sayang. Ya, hanya satu kata sederhana yang semua orang mudah untuk mengucapkannya. Tapi, ini beda. Rasa sayang itu masih ada walaupun satu tahun lebih terombang-ambing.
            Telinga sudah terlalu bosan mendengar kata move on lagi dan lagi dari orang-orang. Terus aja ulang sampai kiamat! Kalau memang belum bisa, kenapa harus dipaksa? Mengatakan move on tidak lebih dari 2 detik. Sangat mudah memang, namun tidak bisa membaikkan keadaan, malah yang ada logika dan hati saling bertentangan dengan sangat kuat. Lalu, apa yang didapat? Kerunyaman dalam berfikir, dan kerumitan dalam merasakan. Ujung-ujungnya pasti dilema dan gak tahu harus berbuat apa. Kapan hati dan logika bisa berjalan beriringan? Aku ingin merasakannya.
           Dibilang capek atau enggak, ya capek banget, capek batin. Aku nggak merasa orang jadi tercapek sedunia, kita sama-sama capek kok disini. Pernah gak sih merasa nyerah sama kelakuan orang yang kita sayang? Sampai maksain diri buat suka sama orang lain, padahal ujung-ujungnya gak bakal suka. Usaha mencari jalan pintas agar semuanya bisa terlepas. Tapi apa boleh buat, karena rasa yang lama akan balik secara utuh.
        Meskipun rasa itu ada, sudah terlalu capek untuk dilanjutkan. Sekarang semacam kehilangan selera untuk mencintai siapa-siapa. Hidup itu kadang lucu. Yang berjuang kadang justru tak mendapat apapun, sementara yang biasa malah mendapatkan banyak.
           

Sabtu, 05 April 2014

Si Dosen Penguji, Tembok Jarak dan Jembatan Waktu


Belakangan ini aku sering memikirkan jika kamu tidak ada disini lagi. Memikirkan ketika kamu sudah lulus. Terpisah oleh tembok jarak dan terhalang keras oleh jembatan waktu. Dua sekawan brengsek yang kusebut “dosen penguji”. Aku memperkirakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelah kamu tidak disini, jarang disampingku, atau bahkan tak lagi disampingku. Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan aku?
Kini kita memang masih menjadi kita. Gabungan dari kata aku dan kamu. Aku dan kamu menjadi kita. Bukan hanya aku atau kamu. Bagaimana jika nanti? Kamu akan jauh, entah berapa kilometer, entah berapa lama, dan entah sampai kapan. Bukankah semua orang akan pergi dan meninggalkan, kenapa kita harus takut pada perpisahan? Aku tak peduli seberapa benarnya pernyataan itu, yang sekarang aku hadapi hanya rasa gelisah yang tak berujung. Ketahuilah walaupun aku berkata baik-baik saja, dibalik kata-kata baik itu tersimpan kebohongan yang tersusun rapih. Kamu tidak perlu khawatir, aku pandai berbohong, ahli menciptakan skenario hingga membuatmu tidak mengenali kecemasanku. Apa kamu tahu? Senyum yang ada hanya senyum kamuflase untuk menutupi segala rasa takut. Bahagia yang terlihat hanya bahagia sementara untuk membelakangi bara yang menyengat. Mungkin kamu sadar, tapi sudah tidak peduli. Terimakasi setidaknya kamu sadar. Itu sudah cukup memberi arti.
Aku tak paham, akhir-akhir ini gerak-gerikmu aneh, semacam ada yang disembunyikan. Aku tak tahu apa itu benar atau hanya perasaanku saja. Tapi sikapmu benar-benar berubah. Hati ini bisa menilai, hati ini peka. Perhatianmu memudar, bertemu pun jarang, hingga berkabar menjadi sesuatu yang langka. Aku merasa diabaikan. Ketakutanku membuncah hingga tidur subuh menjadi keseharianku. Aku menerka-nerka jawaban nyata yang sebenarnya. Aku takut. Aku takut kehilanganmu. Aku belum siap untuk itu, belum siap menjadi diri yang jauh darimu. Apakah ketakutanku menjadi ketakutanmu juga? Apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?
Beberapa hari lagi, perpisahan akan terjadi. Aku tidak bisa mengelak, tidak bisa menghalangi, kamu harus berjuang keras demi mimpimu. Demi orang tuamu, demi keluargamu, demi universitas favoritmu. Memang nanti semua akan berubah, tak akan lagi sama. Tapi percayalah, aku jamin semuanya akan baik-baik saja. Aku janji akan berjuang mengurusi kita, hingga kamu balik kembali kesini, tempat ternyamanmu. Maafkan jika aku menjadi sosok  perindu berat, sosok penghayal berharap tiba-tiba kamu berada disampingku dengan senyum khasmu yang melengkungkan bibirmu, menatap dan melayangkan kecupan dikeningku. Aku pastikan itu akan terealisasikan saat kamu pulang nanti. Semoga yang pernah terjalin tak akan pernah putus. Dan semua yang akan terekam abadi hanyalah kenangan manis.

Jumat, 04 April 2014

Love Will Find The Way


Aku terjebak dalam zona yang cukup bikin pusing. Tertahan oleh rasa yang memungkinkan bisa untuk lebih. Tetapi keadaan yang menolaknya. Tidak ada status yang mendasari. Kejelasan pun menjadi angan-angan dalam hubungan ini. Aku selalu dibayang-bayang pada keputusan diatas keraguan. Tapi pada akhirnya cinta memang terjadi pada proses yang kita alami.
Aku tak mengerti bagaimana statusku denganmu sekarang. Aku tidak menuntut terlalu banyak untuk itu selama kita masih bisa berbagi rasa dan bahagia. Cinta itu bukan untuk dimiliki dan diikat tapi untuk dirasakan,kan? Apalah arti Ikatan? Yang kita butuhkan hanya Cinta. Akan lebih kejam jika sudah ber-ikat namun tetap tidak tumbuh cinta. Aku tak ingin ada yang mengekang, aku hanya ingin bebas.  Aku heran mengapa diluar sana ribut masalah status. Apa status berperan penting dalam suatu hubungan? Jika rasa nyaman mendominasi, saling sayang, dan benar-benar menjadi kita, apa status masih diperlukan? Entahlah.  Aku hanya takut rasa nyaman ini hilang ketika semuanya diperjelas ketika status pacaran ada diantara kita. Cinta kepadamu memang telah membuat aku selalu berfikir irasional, dan perasaan selalu menang. Usahamu telah membuatku benar-benar mengizinkanmu masuk ke kehidupanku dan ketahuilah aku tidak menyesali keputusanku.  Aku mempercayai hal itu, sampai aku mengetahui bahwa aku salah.
Hubungan tanpa peresmian status memang berbahaya. Menjalin hubungan tanpa ada status yang menghalangi. Saling mencintai namun tak ada ikatan.  Tahukah kamu, apa yang aku rasakan saat melihat kalian berdua? Perutku terasa panas. Mataku juga terasa panas. Tapi hatikulah yang paling menderita. Menemukan kenyataan ini rasanya jauh lebih parah daripada dilindas seratus tank baja. Sekuat apa pepatah yang bilang cinta yang tak harus memiliki itu. Biarkan waktu yang menjawab semua misteri pertanyaan ini. Apakah cinta harus memiliki, atau tidak sama sekali?
Baru kali ini aku menemukan bahwa kamu berbohong, untuk suatu hal yang besar.  Rasanya hanya ingin segera keluar dari posisi ini, berpindah dan berlari kencang. Entah kemana. Aku nggak mau memaafkan padahal aku masih mengingat-ingat kesalahannya. Nggak ada dalam kamusku, forgiven but not forgotten untuk kasus berbohong dalam komitmen.  Tapi, aku pasti kangen menghabiskan waktu bersamamu menikmati jalannya cerita kita yang tak tau darimana mulainya dan berakhirnya

Senin, 10 Maret 2014

Haters Itu Maunya Apa, Sih?


Jaman sekarang lagi heboh haters yang beraksi tanpa pandang bulu. Fokus memperhatikan ruang gerak, mengkritik detail apapun yang kita lakukan, dan akan bahagia jika kita sedang berada dizona paling menderita. Seluruh kegiatannya terfokus ke kita. Apa yang diinginkan?
            Semakin tinggi suatu pohon semakin kuat angin yang bertiup. Bila kita berada di atas, ramai orang akan membenci kita. Entah cairan apa yang ada di otak haters sampai-sampai mau menghabiskan waktu dan tenaganya untuk men-judge orang lain. Ketika haters meledakkan kata-kata pedas ke orang yang dia benci mereka akan merasa puas dan nyengir-nyengir sendiri. Untuk apa sih kaya gitu? Untuk sekedar menghibur diri? Masih banyak ada cara yang lebih halal dan jauh dari dosa untuk mempersenang diri sendiri.
            Ketahuilah ketika haters bergaya dengan aksinya, mencibir, menjelek-jelekan kita. Sadar gak bahwa dia sebenarnya sedang menjelek-jelekan dirinya sendiri? Hanya saja prosesnya dalam kemasan yang berbeda. Sah-sah saja jika mengkritik jika diimbangi dengan karya dan bukti nyata yang positif. Kalau sudah banyak omong tanpa embel-embel pembuktian bahwa haters lebih baik dari kita. Memalukan,kan?
            Aksi haters tak perlu direaksi. Senyumin aja. Cukup dijadikan acuan untuk menjadi orang yang lebih lagi. Selain diri sendiri, haters-lah yang paham dengan kekurangan kita. Tidak perlu merasa down. Disyukuri saja. Didoakan agar cepet sadar dan kembali ke jalan yang benar. Untuk apa memperdulikan orang-orang yang tidak menghormati privasi orang lain dan selalu menjatuhkannya melalui cara apapun? Satu-satunya hal yang lebih menjengkelkan daripada orang yang suka menjelekan oranglain adalah orang yang cukup bodoh untuk mendengarkan mereka.
Berterima kasihlah kepada para pembencimu. Hargai dia yang membencimu, karena dia adalah penggemar yang telah menghabiskan waktunya hanya tuk melihat setiap kesalahanmu. Berkatnya itu semakin membuat kita sadar bahwa hidup kita jauh lebih menarik dari hidupnya. Didiamkan mulutnya dengan kesuksesan kita. Biarkan bibir mereka terkunci melihat keberhasilan kita. Orang bodoh akan slalu melakukan hal yang tidak penting, sedangkan orang berprestasi akan mengabaikan orang bodoh itu. Teruslah membenci dan aku akan tetap berkarya. Mari, berjuang!

Senin, 17 Februari 2014

Selamat Tanggal Empat Belas


Sebenarnya aku tidak ingin semuanya berakhir begitu cepat. Aku masih ingin merasakan hangatnya ketika dipanggil sayang, manisnya ketika dirangkul, manjanya ketika poni diacak-acak, dan berbagai kegiatan lainnya yang tidak bisa kusebut satu-persatu. Aku rindu masa-masa dimana kau memberikan perhatian-perhatian kecil yang menjelma menjadi rindu yang menggetarkan hatiku dengan luar biasa. Saat kau memanggilku dengan sebutan lucumu itu. Saat kau selalu ada disaat aku benar-benar membutuhkanmu. Dengan rajinnya kau selalu hadir ditelepon genggamku. Begitu sigapnya kau meminjamkan pundakmu saat kumengeluh dengan keadaan. Tetapi semua tradisi itu menghilang kemudian lenyap tak berbekas. Kini, kita telah berjarak. 
Prediksiku salah. Bukankah ini manusiawi? Tidak pernah kupungkiri bahwa perpisahan harus terjadi. Ingat tidak? Ketika pagi siapa yang menyapamu dengan hangatnya? Siapa yang memerintahkanmu untuk makan?  Siapa yang memberikanmu semangat ketika kau lelah dengan keadaan? Saat siang, siapa yang mengingatkanmu untuk sekadar beristirahat? Menjelang sore, siapa yang dengan tulusnya mendengar keluhan-keluhan kamu yang kau alami seharian?  Malam tiba, suara serak siapa yang kau dengar ketika kau sedang kesepian? Dan aku rindu itu semua. Rindu melakukan hal-hal manis itu, tetapi keadaan yang menolaknya.
Suara serakmu, tawa lugumu, candaan khasmu dan segala hal yang membuat otakku penuh karenamu. Aku benci saat-saat ini. Perasaanku mati untuk merasakan bahagia. Aku mencoba untuk (terpaksa) tegar. Memang terkadang aku tak menggubris perhatian kecilmu itu. Bukan menolak, hanya saja aku sedang menjarakkan diriku denganmu. Semua kenangan itu menjadi abadi dikehidupanku. Tak bisa lepas, tak bisa dilupakan. Sampai disini kisah kita. Semua sudah berakhir. Terimakasih kau pernah membuat aku menjadi orang yang paling bahagia dengan memilikimu, menjadi orang yang pencemburu, dan selalu merindu. Kini beranjak menuju bulan februari. Bulan penuh kasih sayang. Selamat tanggal 14, selamat hari kasih sayang, dan ingatlah setiap moment diantara kita.