Belakangan
ini aku sering memikirkan jika kamu tidak ada disini lagi. Memikirkan ketika
kamu sudah lulus. Terpisah oleh tembok jarak dan terhalang keras oleh jembatan
waktu. Dua sekawan brengsek yang kusebut “dosen penguji”. Aku memperkirakan
kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelah kamu tidak disini, jarang
disampingku, atau bahkan tak lagi disampingku. Bagaimana dengan kita? Bagaimana
dengan aku?
Kini
kita memang masih menjadi kita. Gabungan dari kata aku dan kamu. Aku dan kamu
menjadi kita. Bukan hanya aku atau kamu. Bagaimana jika nanti? Kamu akan jauh,
entah berapa kilometer, entah berapa lama, dan entah sampai kapan. Bukankah
semua orang akan pergi dan meninggalkan, kenapa kita harus takut pada
perpisahan? Aku tak peduli seberapa benarnya pernyataan itu, yang sekarang aku
hadapi hanya rasa gelisah yang tak berujung. Ketahuilah walaupun aku berkata
baik-baik saja, dibalik kata-kata baik itu tersimpan kebohongan yang tersusun
rapih. Kamu tidak perlu khawatir, aku pandai berbohong, ahli menciptakan
skenario hingga membuatmu tidak mengenali kecemasanku. Apa kamu tahu? Senyum
yang ada hanya senyum kamuflase untuk menutupi segala rasa takut. Bahagia yang
terlihat hanya bahagia sementara untuk membelakangi bara yang menyengat.
Mungkin kamu sadar, tapi sudah tidak peduli. Terimakasi setidaknya kamu sadar.
Itu sudah cukup memberi arti.
Aku
tak paham, akhir-akhir ini gerak-gerikmu aneh, semacam ada yang disembunyikan.
Aku tak tahu apa itu benar atau hanya perasaanku saja. Tapi sikapmu benar-benar
berubah. Hati ini bisa menilai, hati ini peka. Perhatianmu memudar, bertemu pun
jarang, hingga berkabar menjadi sesuatu yang langka. Aku merasa diabaikan. Ketakutanku
membuncah hingga tidur subuh menjadi keseharianku. Aku menerka-nerka jawaban
nyata yang sebenarnya. Aku takut. Aku takut kehilanganmu. Aku belum siap untuk
itu, belum siap menjadi diri yang jauh darimu. Apakah ketakutanku menjadi
ketakutanmu juga? Apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?
Beberapa
hari lagi, perpisahan akan terjadi. Aku tidak bisa mengelak, tidak bisa
menghalangi, kamu harus berjuang keras demi mimpimu. Demi orang tuamu, demi
keluargamu, demi universitas favoritmu. Memang nanti semua akan berubah, tak
akan lagi sama. Tapi percayalah, aku jamin semuanya akan baik-baik saja. Aku
janji akan berjuang mengurusi kita, hingga kamu balik kembali kesini, tempat
ternyamanmu. Maafkan jika aku menjadi sosok
perindu berat, sosok penghayal berharap tiba-tiba kamu berada
disampingku dengan senyum khasmu yang melengkungkan bibirmu, menatap dan
melayangkan kecupan dikeningku. Aku pastikan itu akan terealisasikan saat kamu
pulang nanti. Semoga yang pernah terjalin tak akan pernah putus. Dan semua yang
akan terekam abadi hanyalah kenangan manis.